Sabtu, 26 Januari 2013

ASURANSI SYARIAH (Life and General) KONSEP DAN SISTEM OPERASIONAL

Book Review
A.   PENDAHULUAN
Perjanjian asuransi yang bertujuan untuk berbagi resiko antara penderita musibah dan perusahaan asuransi dalam berbagai macam lapangan. merupakan hal baru yang belum pernah dikenal dalam kehidupan Rasulullah SAW,  para sahabat. dan tabi’in. Asuransi dalam catatan sejarah dunia Barat pada abad 12, muncul dari gagasan bangsa Romawi berupa perjanjian asuransi laut yang kemudian memencar di beberapa daerah Eropa pada abad 14. Asuransi kebakaran berdiri pada tahun 1680 di London sebagai akibat peristiwa kebakaran besar pada tahun 1666 yang melahap lebih dari 13.000 rumah dan kira-kira 100 gereja.
Pada tahap selanjutnya, perkembangan asuransi telah memasuki fase yang memberikan muatan yang besar pada aspek bisnisnya dibandingkan dengan nilai-nilai sosial yang terkandung sejak awal. Hal ini terjadi setelah bisnis asuransi memasuki masa modern.
Perusahaan-perusahaan asuransi kebakaran serupa berdiri di Eropa pada abad 18, seperti Prancis, dan Belgia, kemudian disusul Amerika. Asuransi jiwa bagi awak kapal mulai dikenal pada abad 19, yang berarti pada mulanya asuransi jiwa merupakan bagian dari asuransi laut.  Perusahaan asuransi jiwa meluas dan berkembang pada abad 20 hingga sekarang. Perusahaan asuransi laut dan kebakaran yang pertama kali berdiri di Indonesia yaitu pada tahun 1843 adalah Bataviansche Zee & Brand Assurentie Maatshappij.  Perusahaan asuransi jiwa Bumi Putera sebagai usaha pribumi pada tahun 1912.
Ijtihad para pemerhati ekonomi yang dilakukan secara kontinyu menghasilkan sebuah konsep asuransi yang disebut Konsep Asuransi Ta’awun. konsep ini merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang pertama kali di Mekah pada tahun 1976 M. Konsep ini dikuatkan pada sidang Majma’ al Fiqh al Islami al ’Alami di Jeddah pada tanggal 28 Desember 1985, yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan dan mengharuskan Asuransi jenis Ta’awun sebagai alternatif asuransi Islam untuk menggantikan Jenis Asuransi Konvensional. Majma’ al Fiqh al Islami al ’Alami menyerukan agar seluruh umat Islam menggunakan asuransi Ta’awun.[1]
Asuransi Islam pertama berdiri di Sudan pada tahun 1979 sebagai respon dari fatwa tersebut, kemudian disusul The Islamic Arab Insurance Co di Arab Saudi pada tahun 1980. The Islamic Takaful Company of Luxembourg berdiri pada tahun 1983 di Bahamas dan selanjutnya berdiri di negara-negara lain termasuk Indonesia.
Kebutuhan jasa asuransi yang berdasarkan syariah di Indonesia diawali dengan mulai beroperasinya bank-bank syariah. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan ketentuan pelaksanaan bank syariah. Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamallat Indonesia (BM1) dan Perusahaan Asuransi Tugu Mandiri pada tanggal 27 Juli 1993 sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful, dengan menyusun Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI).
TEPATI telah merealisasikan berdirinya PT Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company dan dua anak perusahaan PT Asuransi takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) dan PT Asuransi Takaful (Asuransi Takaful Kerugian). Dua perusahaan tersebut dibentuk mengikuti ketentuan UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian, dimana perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian harus didirikan secara terpisah. Tugas Holding Company selanjutnya adalah mengembangkan keuangan syariah lainnya. antara lain, leasing, anjak piutang, modal ventura, pegadaian, dan sebagainya. Fungsi utama Asuransi Takaful adalah sebagai invesment company.
Demikian sekilas tentang sejarah asuransi dan perkembangannya hingga sekarang banyak berdiri lembaga-lembaga asuransi syariah di Indonesia. Banyak referensi-referensi yang membahas tentang masalah-masalah asuransi syariah. Diantaranya adalah buku Asuransi Syariah Life and General (konsep dan sistem operasional). Buku ini ditulis oleh seorang pakar asuransi syariah Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS. Buku yang diterbitkan oleh Gema Insani Press tahun 2004. Buku ini adalah buku asuransi yang cukup lengkap.

B.   ISI BUKU

Pengantar penerbit
Prolog oleh Muhamad Syafi’I Antonio, Ph.D
Pendahuluan
Kata Pengantar: K.H Ma’ruf Amin
Kata Pengantar: Drs. H. Firdaus Djaelani, M.A.

BAB 1: MUKADIMAH
1.1  Asal segala sesuatu adalah mubah (boleh)
1.2  Karakteristik syariat Islam
1.3  Islam rahmatan lil alamin
BAB II: LANDASAN TEORI ASURANSI SYARIAH
1.1  Pengertian Asuransi (At Ta’min)
1.2  Al Aqila (asal mula asuransi syariah)
1.3  At Takaful (tolong menolong)
1.4  Tabbaru’ (hibah/dana kebajikan)
1.5  Aqad (akad)
1.6  Gharar (ketidakpastian)
1.7  Maisir (judi/untung-untungan)
1.8  Riba (bunga)
BAB III: PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA TENTANG ASURANSI
3.1 Pendapat Ulama yang mengharamkan
3.2 Pendapat Ulama yang membolehkan
3.3 Meletakkan yang halal dan yang haram pada tempatnya
3.4 Konsep At Ta’min(asuransi) dalam literatur klasik
3.5 Dalil-dalil syar’I yang mendasari pendirian dan praktik Asuransi Syariah
3.6 Apakah Asuransi bertentangan dengan takdir?
3.7 Akad Asuransi mengandung judi
3.8 Asuransi konvensional bolehkah karena alas an darurat?
3.9 Fatwa-fatwa kontemporer tentang keuangan dan asuransi
BAB IV: FENOMENA RIBA DAN BUNGA BANK
4.1 Pengertian riba
4.2 Pengertian riba an nashi’ah dan riba al fadhl
4.3 Haramnya Bunga Bank
4.4 Hikmah diharamkannya riba
4.5 Masalah riba yang berlipat ganda
4.6 Ancaman Allah bagi pemakan riba
4.7 Riba dalam bisnis asuransi
4.8 Keputusan lembaga Internasonal Mukatamar, dan Lembaga Riset Islam tentang haramnya bunga bank
BAB V: SISTEM OPERASIONAL ASURANSI JIWA DALAM MENGELIMINIR GHARAR, MAISIR, RIBA
5.1 Akad (perjanjian)
5.2 Mekanisme Pengelolaan Dana
5.3 Sumber Biaya Operasional
5.4 Underwriting
5.5 Aspek-Aspek teknik dan Aktuaria
5.6 Perwujuda Ta’awun dalam mekanisme asuransi
5.7 Dari konsep teknik dan Aktuaris ke desain produk
BAB VI: SISTEM OPERASIONAL ASURANSI KERUGIAN DALAM MENGELIMINIR RIBA DAN KONTRAK YANG BATIL
6.1 Konsep operasional
6.2 Prinsip-prinsip asuransi kerugian
6.3 Mekanisme Pengelolaan Dana
6.4 Underwriting
6.5 Klaim (claims)
6.6 Reasuransi dan Retakaful
6.7 Kerangka teknik dan operasional general insurance
6.8  pengertian Mega Risk dan Simple Risk
BAB VII: PERBEDAAN SECARA UMUM ANTARA ASURANSI SYARIAH DAN KONVENSIONAL
7.1 Konsep
7.2 Asal Usul
7.3 Sumber Hukum
7.4 Bersih dari Maghrib (maisir, gharar, dan riba)
7.5 Dewan Pengawas Syariah
7.6 Akad (perjanjian)
7.7 Sharing of Risk vs transfer of risk
7.8 Pengelolaan Dana
7.9 investasi Dana

7.10 Kepemilikan Dana
7.11Unsur Premi
7.12Loading (kontribusi biaya)
7.13Sumber Pembayaran Klaim
7.14Sistem Akuntansi
7.15Keuntungan(profit)
7.16Misi dan Visi
BAB VIII: KONSEP DAN IMPLEMENTASI AL-MUDHARABAH DAN AKAD TIJARAH LAINNYA PADA ASURANSI SYARIAH
8.1 Pegertian Al Mudharabah
8.2 Mudhrabah dalam wacana Fiqih
8.3 Landasan Syar’I Al Mudharabah
8.4 Rukun dan persyaratan Mudharabah
8.5 Keunggulan system Mudharabah
8.6 Perbedaan Sistem Mudharabah dengan Riba
8.7 Ketentuan bagi hasil dalam Mudharabah
8.8 Implementasi Mudharabah pada Asuransi Syariah
8.9 Akad-akad Tijarah dalam praktik asuransi syariah
BAB: IX: SISTEM INVESTASI PADA ASURANSI SYARIAH
9.1 Definisi Investasi
9.2 Landasan  Syar’I Investasi
9.3 Prinsip-prinsip dasar Investasi
9.4 Investasi yang alami
9.5 Investasi yang terlarang
9.6 Pengelolaan Investasi pada Asuransi Syariah
BAB X: SISTEM AKUNTANSI PADA ASURANSI SYARIAH
10.1 Pengertian Akuntansi
10.2 Landasan sya’i
10.3 Tujuan akuntansi keuangan syariah
10.4 Prinsip-prinsip dasar akuntansi syariah
10.5 Perbedaan system akuntansi asuransi syariah dengan asuransi konvensional
10.6 Implementasi akuntansi Islam pada asuransi syariah
10.7 Masalah Cash Basis dan Acrual Basis
BAB XI: KONSEP MARKETING (PEMASARAN) ASURANSI SYARIAH
11.1 Pengertian Pemasaran
11.2 Redefinisi peran pemasaran
11.3 Dalil-dalil syar’I pemasaran
11.4 Prinsip-prinsip pemasaran dalam perspektif syariah
11.5 Perilaku bisnis yang terlarang dalam pemasaran
11.6 Perilaku bisnis yang dianjurkan dalam pemasaran
11.7 Profit dan etika marketer Lembaga keuangan syariah (LKS)
11.8 Sistem pemasaran pada Asuransi Syariah
BAB XII: DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DEWAN SYARIAH NASIONAL, BADAN ARBRITASE SYARIAH, DAN SERTIFIKASI AHLI ASURANSI SYARIAH
12.1 Dewan Pengawas Syariah (DPS)
12.2 Dewan Syariah Nasional MUI
12.3 Repsitioning DSN dan DPS
12.4 Badan Arbritase Syariah Nasional ( Basyarnas)
12.5 Sertifikasi Ahli Asuransi
BAB XIII: COORPORATE CULTURE LKS
13.1 Pengertian cooperate culture
13.2 Membangun corporate culture yang Islami
13.3 Manajemen dan Leadership yang Islami
13.4 Good Coorporate Governance
BAB XIV: PRODUK-PRODUK ASURANSI SYARIAH
14.1 Mendesain produk Asuransi syariah
14.2 Produk-produk Asuransi Jiwa
14.3 Produk-produk Asuarnsi Kerugian
14.4 Produk-produk Syarikat Takaful Malaysia
BAB XV: NETWORKING ASURANSI ISLAM
15.1 Perkembangan Asuransi Islam di Dunia
15.2 Takaful (asuarnsi syariah) di ASEAN dan ASIA
15.3 Perkembangan Asuransi Syariah di Indonesia
BAB XVI: PRINSIP-PRINSIP UMUM MUAMALAH YANG MELANDASI ASURANSI SYARIAH
16.1 Tauhid (ketakwaan)
16.2 Al Adl ( sikap adil)
16.3 Adzulm (kezaliman)
16.4 At Ta’awun (tolong menolong)
16.5 Al Amanah (terpercaya)
16.6 Ridha (suka sama suka)
16.7 Riswah (sogok/suap)
16.8 Maslahah (kemaslahatan)
16.9 Khitmah (pelayanan)
16.10 Tathfif (kecurangan)
16.11 Gharar, Miasir dan riba.
DAFTAR PUSTAKA
INDEKS
Berikut selintas isi pembahasan yang dibahas dari buku ini:
Landasan Syar’i Asuransi Syariah
 Persiapan Hari Depan
Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa melakukan persiapan untuk menghadapi hari esok. Allah berfirman dalam surat al Hasyr ayat 18:
Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui yang kamu kerjakan [al Hasyr: 18]

Ayat di atas dikaitkan oleh sebagian umat Islam dengan aktivitas menabung atau berasuransi. Menabung adalah upaya mengumpulkan dana untuk kepentingan mendesak atau kepentingan yang lebih besar di masa depan, sedangkan asuransi adalah upaya berjaga-jaga jika suatu musibah datang menimpa, di mana hal ini membutuhkan perencanaan dan kecermatan.[2]
            Menurut tafsir Ibnu Katsir ayat ini mempunyai maksud: Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.” Allah SWT memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya. Pengertian takwa  ini mencakup sesuatu yang telah diperintahkan dan meninggalkan sesuatu yang telah dilarang. Allah SWT berfirman, “dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan),” yaitu, hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah, dan lihatlah apa yang telah kamu tabung untuk diri-diri kamu, berupa amal shaleh, untuk hari di mana kamu akan kembali dan berhadapan dengan Tuhan kamu.[3]

Artinya:


Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Al Maidah : 2


Barang siapa yang memenuhi hajat saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya [Bukhari, Muslim, Abu dawud]

Seorang mukmin dengan mukmin lainnya dalam satu masyarakat ibarat seluruh bangunan, yang mana tiap bagian dalam bangunan itu mengukuhkan bagian yang lain [Bukhari, Muslim]

Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang seperti satu badan. Apabila salah satu anggota badan itu menderita sakit, maka seluruh badan merasakannya [Bukhari, Muslim]

Barang siapa yang tidak mempunyai perasaan belas kasihan, maka ia juga tidak mendapat belas kasihan (dari Allah) [Bukhari, Muslim]

Seseorang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri [bukhari]

Allah senantiasa menolong hamba selagi hamba itu menolong saudaranya [Ahmad, Abu dawud]

 

Kaidah-kaidah fiqih yang digunakan para penggagas Asuransi Syariah.
Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.[4]
ﻢﻳﺭﺣﺗﻠﺍ ﻰﻟﻋ ﻝﻳﻠﺩﻟﺍ ﻝﺩﻴ ﻰﺗﺣ ﺔﺣﺎﺑﻹﺍ ﺀﺎﻳﺸﻷﺍ ﻲﻓ ﻞﺼﻷﺍ
Hukum asal semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya[5]
Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah[6]

     

Sistem Operasional Asuransi Syariah (Kerugian)

Takaful ditegakkan atas dasar tiga prinsip, yaitu:
1.      Saling bertanggung jawab
2.      Saling bekerja sama dan saling membantu
3.      Saling melindungi

1.      Konsep Takafuli (Tolong Menolong)[7]
Konsep asuransi kerugian mempresentasikan hadits Nabi yang menjadi dasar konsep syariah yaitu konsep tolong menolong atau saling melindungi dalam kebenaran sebagaimana terawat dalam Surat Al-Maidah ayat 2

Artinya:


Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.


Rasulullah bersabda dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim:
Mukmin terhadap mukmin yang lainnya seperti bangunan memperkuat satu sama lain

Hadits riwayat Bukhari yang lain:
 “Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan. Apabila salah satu anggota badan itu menderita sakit maka seluruh bagian badan merasakan”.

Bentuk tolong menolong ini digunakan dalam kontribusi dan kebajikan (dana tabarru’) sebesar yang ditetapkan. Apabila ada salah satu dari peserta takaful atau peserta asuransi syariah mendapat musibah, maka peserta lainnya ikut menanggung resiko, dimana klaimnya dibayarkan dari akuntansi dana tabarru’ yang terkumpul.
Surplus dana tabarru’ pada beberapa praktek asuransi syariah, dikembalikan sebagian kepada peserta melalui mekanisme mudharabah (bagi hasil). Mekanisme dan akad yang mendasari pengembalian melalui mekanisme mudharabah masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.

2.      Perjanjian (Akad)
Akad yang mendasari kontrak asuransi syariah kerugian adalah akad tabarru’, dimana pihak pemberi dengan ikhlas memberikan sesuatu (kontribusi/premi) tanpa ada keinginan untuk menerima apa pun dari orang yang menerima, kecuali hanya mengharapkan keridhaan Allah. Hal ini tentu akan sangat berbeda dengan akad dalam asuransi konvensional. Akad dalam asuransi konvensional menggunakan akad mu’awadah yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang memberikan sesuatu kepada pihak lain, berhak menerima pengganti dari pihak yang diberinya[8].
Terdapat perbedaan implementasi akad tabarru’ dalam praktek asuransi syariah saat ini, yaitu:
1.      Asuransi syariah yang dalam prakteknya memberikan bagi hasil (mudharabah) apabila terjadi surplus dana tabarru’ merujuk kepada sistem yang diterapkan di Syarikat Takaful Malaysia, yang merupakan asuransi syariah terbesar di dunia saat ini.
2.      Asuransi syariah yang tidak membagikan dengan alasan bahwa tabarru’ adalah dana yang sudah diikhlaskan untuk tolong menolong, peserta tidak perlu mengharapkan pengembalian apa-apa lagi kecuali mengharapkan kebaikan (pahala) dari Allah.[9]

Konsep perjanjian (akad) yang berlaku di Takaful Group secara Internasional, baik di Takaful Malaysia, Takaful Jeddah, Takaful Brunei, Takaful Singapura, Takaful Bangladesh, maupun Takaful Indonesia adalah kontrak (perjanjian) yang didasarkan pada prinsip al-mudharabah. Perusahaan (al mudharib) mengumpulkan Kontribusi Takaful (ra’sul mal) yang dibayar oleh peserta (shohibul mal) dan pengelola dengan berbagai kelas (tahapan saling menanggung) pada Takaful Konvensional termasuk investasi dari dana kontribusi tadi. Peserta membayar Kontribusi Takaful sebagai tabarru’ yang secara khusus bertujuan menolong sesama peserta yang tertimpa musibah tertentu atau kemalangan. Perjanjian tersebut juga menetapkan pembagian surplus (profit) antara peserta dan perusahaan, yang muncul dari bisnis Takaful Konvensional (General Insurance) sehubungan dengan prinsip al-mudharabah.[10]
Beberapa ulama di Dewan Syariah Nasional (DSN–MUI) berpendapat bahwa dana yang sudah diikhlaskan sebagai tabarru’ tidak boleh pada saat bersamaan ada akad mudharabah (bagi hasil), karena ada kaidah syara’ yang tidak membenarkan ada dua akad dalam satu perjanjian. Pendapat ulama yang lain menyatakan bahwa tidak dibenarkan suatu akad tabarru’ diubah menjadi akad tijarah “mudharabah”. Sebagian ulama berpendapat bahwa dibenarkan pada satu perjanjian, di mana ada akad mudharabah dan pada saat bersamaan (include) di dalamnya juga terdapat akad tabarru’.[11]
Dalam fatwa DSN–MUI[12] dengan jelas mengatur ketentuan dalam akad tijarah dan akad tabarru’ sebagai berikut :
1)         Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya, sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2)            Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa perlu pengkajian lebih dalam tentang Asuransi Syariah (Takaful), sehingga akad yang dilakukan saat ini menjadi syar’i atau lebih disempurnakan lagi. Tidak tertutup kemungkinan ke depan para ulama dan pakar menemukan formula akad yang lebih tepat dan pas, baik segi syar’i maupun aspek market (marketing)[13].
Surplus dana tabarru’ atau dalam bahasa teknik asuransi disebut Surplus Underwriting, dapat dibagikan kecuali kepada para peserta (nasabah) sebagai bonus atau hadiah, tetapi bukan menggunakan akad mudharabah (bagi hasil), walaupun dalam akad tabarru’ tidak ada kewajiban bagi pengelola untuk memberikan bonus, karena dana tabarru’ sudah diikhlaskan untuk dana tolong menolong, dan peserta tinggal berharap pahala dari Allah, sehingga secara syar’i peserta tidak berhak lagi untuk berharap apalagi meminta hak bagi hasil dari pengelola.[14]
Pihak pengelola karena kebaikan atau pertimbangan lain tidak ada larangan seandainya kemudian memberikan hadiah kembali kepada peserta misalnya dengan meminjam skim atau cara pembagian yang biasa digunakan dibagi hasil, atau menggunakan rumus lain, yang pada prinsipnya itu bukan diartikan sebagai akad mudharabah, tetapi semacam hadiah saja dengan meminjam rumus yang biasa digunakan di konsep mudharabah misalnya 70 : 30, 60 : 40 dan sebagainya.[15]

Mekanisme Pengelolaan Dana

1.      Kedudukan Perusahaan Asuransi Syariah
Kedudukan perusahaan Asuransi Syariah dalam transaksi Asuransi Kerugian adalah sebagai mudharib (pemegang amanah). Asuransi Syariah menginvestasikan dana tabarru’ yang terkumpul dari kontribusi peserta kepada Instrumen yang dibenarkan oleh syara’. Mudharib berkewajiban untuk membayarkan klaim, apabila ada salah satu dari peserta mengalami musibah, juga berkewajiban menjaga dan menjalankan amanah yang diembannya secara adil transparan dan profesional. Mudharib diawasi secara teknis dan operasional oleh komisaris dan secara syar’i diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam mengelola dana peserta yang terkumpul pada kumpulan dana tabarru’.
2.      Mekanisme Pengelolaan Dana
Mekanisme pengelolaan dana dibeberapa perusahaan asuransi kerugian (syariah) di Indonesia dan Malaysia misalnya Syarikat Takaful Malaysia dan Asuransi Takaful Konvensional, Tripakarta cabang Syariah, Bringin Sejahtera Cabang Syariah, Binagriah Cabang Syariah, Jasindo Cabang Syariah, mekanisme pengelolaan dana adalah sebagai berikut :
Dana dibayarkan peserta, kemudian terjadi akad mudharabah (bagi hasil) antara mudharib (pengelola) dengan shohibul mal (peserta). Kumpulan dana tersebut kemudian diinvestasikan secara syariah ke Bank Syariah maupun ke Investasi Syariah lainnya, lalu dikurangi biaya-biaya operasional (seperti klaim, reasuransi, komisi broker dll) selanjutnya surplus (profit) dilakukan bagi hasil antara mudharib (pengelola) dan shohibul mal (peserta) sesuai dengan skim bagi hasil yang telah ditentukan sebelumnya (misalnya 60 : 40). Bagian yang 60 persen untuk mudharib (perusahaan) setelah dikurangi biaya administrasi dan management expenses, sisanya menjadi profit bagi shareholders, sedangkan bagian yang lain, yaitu 40 % menjadi share of surplus for participant (surplus bagi hasil untuk partisipasi).



[1] Muhammad Syakir Sula, op.cit., hal. 700.
[2] Muhammad Syakir Sula, op.cit., hal. 86.
[3] Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, GIP, Jakarta, 2000, hal. 658.
[4] Muhammad Syakir Sula, op.cit., hal. 1.
[5] Ibid., hal. 1.
[6] Ibid., hal. 91.
[7] Ibid., hal. 225.
[8] Muhammad Syakir Sula, op.cit., hal. 226.
[9] Ibid., hal. 226.
[10] Ibid., hal. 226.
[11] Ibid., hal. 227.
[12] Fatwa DSN No: 21 / DSN – MUI / X / 2001 tentang Pedoman Konvensional Asuransi Syariah
[13] Ibid.,  hal. 227.
[14] Ibid.,  hal. 227.
[15] Ibid.,  hal. 227.

1 komentar: